Sabtu, 01 Oktober 2011

Ilmu Debus

Sumber:   Anggaz

Debus adalah suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain. Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten, yang mungkin berkembang sejak abad ke 18. Namun, pernahkah orang bertanya-tanya darimana sebenarnya asal debus tersebut?
Sejarah Kesenian Debus
Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.
Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhana yang saya tangkap adalah “lau haula walla Quwata ilabillahil ‘aliyyil adhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka.Pada kelanjutannya, tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang pun dikenal istilah Dabuih.
Definisi Kata Debus
Menurut pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Kandepdikbud Kabupaten Serang, (Alm) Tb A Sastra Suganda, debus berasal dari kata tembus. Ada juga yang menyebutkan bahwa debus berasal dari kata gedebus, yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukan kekebalan tubuh. Benda tajam tersebut tebuat dari besi, dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu kata debus dapat diartikan sebagai tidak tembus.
Bentuk Atraksi Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan.
Bersamaan dengan beluk, atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan angggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh.
Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.
Kesenian debus tidak hanya terdapat di Banten, namun telah merambah ke daerah-daerah lainnya seperti Garut dan Sidoarjo. Perguruan Debus Pancawarna yang terletak di Garut mempelajari gabungan lima jenis ilmu bela diri, yaitu pencak silat, rudat, lais, sucipta dan debus itu sendiri. Pada awalnya, Mi’an, guru utama perguruan, mewajibkan kepada setiap penonton melafalkan syahadat untuk meyakinkan keteguhan mereka pada Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, aturan itu dihapus.
Ada pula kelompok debus yang tergabung dalam grup musik Alga Nada pimpinan Gus Kholiq. Bentuk kesenian yang berasal dari daerah Waru ini tidak jauh berbeda dengan atraksi kesenian debus Banten, namun diawali dengan adegan meminum air putih yang telah diberi doa-doa oleh Gus Kholiq. Atraksi kelompok ini pernah dipertunjukan di Pendopo Delta Krida Budaya, Kantor Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga Sidoarjo, dalam acara pengukuhan Dewan Kesenian Sidoarjo periode 2001-2004.
Debus juga merupakan salah satu unsur dalam kesenian terebang sejak dan gebes, sejenis kesenian perkusi di desa Cikeusal, wilayah Priangan Timur, yang bersifat kontemplatif, yaitu bentuk kesenian yang mengajak masyarakat untuk merenung atau ber-tafakkur. Lagu-lagu yang ditembangkan adalah sholawat Al-Barjanzi dan Al-Daiba.
Tokoh Spiritual Debus
Salah satu tokoh spiritual debus asal Banten yang hendak dikemukakan dalam tulisan ini adalah Tubagus Barce Banten atau Abah Barce. Ia cukup dikenal di kalangan penduduk Banten sebagai pemimpin spiritual debus ‘modern’. Konon, ia sanggup menyembuhkan berbagai macam penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan pengobatan kedokteran masa kini. Ia juga sering dipanggil sebagai penasihat pribadi masalah-masalah spiritual oleh kalangan elit politis Jakarta.
Abah Barce berperan penting dalam memperkenalkan kesenian debus hingga keluar negeri, seperti Amerika Serikat, Australia, Jerman, Jepang, Malaysia, Spanyol, dan Belanda. Ia mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Amsterdam pada tahun 1985. Selain itu, ia adalah ketua Perkumpulan Paranormal Indonesia cabang Banten sejak Mei 2003, ketua Perkumpulan Judo-Karate-Silat Banten, dan pendiri Laskar Islam Banten pada tahun 1999.
Menurut Abah Barce, debus tidak ada kaitannya dengan dunia mistis atau magic, tidak seperti anggapan kebanyakan orang selama ini, karena magic itu sama dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Ia juga mengatakan bahwa debus digunakan oleh para alim ulama zaman dahulu untuk melawan penjajah.
Kesenian Debus Sebagai Potensi Wisata
Jadi, mengapa tidak melestarikan dan mengembangkan kesenian debus, yang juga merupakan ciri khas kebudayaan Banten? Terlebih, Djoko Munandar, gubernur Banten terpilih, semakin gencar mempromosikan sektor pariwisata daerahnya sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diunggulkan. Dengan demikian, kekayaan pariwisata tidak hanya terpusat di Bali dan Lombok saja, namun juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini untuk menunjukkan kepada masyarakat luas, bahwa tidak hanya agama Hindu atau Budha saja yang berperan dalam perkembangan dan akulturasi kebudayaan daerah di Indonesia, melainkan juga agama Islam. Hal inilah yang telah dirintis oleh Abah Barce dalam pengenalan kesenian debus hingga ke mancanegara.
BANYAK orang merasa ngeri ketika menyaksikan pertunjukkan debus. Bayangkan, di tengah arena, publik penonton disuguhi permainan yang tak gampang dijumpai di sembarang tempat. Golok tajam berkelebatan ibarat dalam film silat. Bara api dan senjata tajam lainnya jadi mainan tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun pada para pemainnya.
Di balik seni pertunjukan yang mengerikan itu, Haji Moch Idris (92), orang yang selama ini menjadi syeh pertunjukkan debus, memperhatikan anak buahnya dengan saksama. Tubuhnya memang kecil, tetapi kemampuannya dalam memimpin debus tidak perlu diragukan lagi. Dialah orang di belakang layar yang membuat para pemain kebal terhadap api dan senjata tajam apa pun dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Di bawah pimpinannya pula, debus Yayasan Debus Banten “Sorosohan” itu melanglang buana, sehingga debus tidak hanya dikenal di daerah asalnya. Grup debus yang dipimpinnya sudah tampil di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan daerah-daerah yang dikunjungi bukan hanya sebatas di Tanah Air. Tetapi seni pertunjukkan ini sudah digelar di Jepang, Thailand dan Malaysia.
* DEBUS adalah kesenian khas Banten yang ditampilkan di arena terbuka. Kesenian itu sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku masyarakatnya yang keras namun agamis. Lihat saja ketika atraksi pertunjukan mencapai puncaknya. Para pemain dengan tanpa ragu mengiris lidah atau pergelangan tangannya dengan golok tajam dan mengkilap, tanpa gentar sedikit pun. Mereka bahkan memakan api yang berkobar dan kemudian menggunakan kepalanya untuk menggoreng, tanpa memperlihatkan rasa panas sedikit pun.Masih belum cukup, penonton yang terpana dan dibayangi rasa ngeri itu kemudian disuguhi atraksi paling khas, tatkala dua pemain bertelanjang dada tampil di tengah arena. Seorang di antaranya memegang almadad, yakni sejenis alat yang terbuat dari besi berdiameter sekitar 12 mm dan panjangnya sekitar 45-50 cm. Ujung yang satu sengaja dibuat tajam sehingga menyerupai jarum besar. Sementara ujung lainnya dimasukkan ke dalam gagang kayu bergaris tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm. Dengan sikap seolah-olah menantang, ujung almadad yang tajam ditempelkan ke perut. Sementara pemain lainnya mengayunkan gada memukul gagang almadad. Alat pemukul tersebut terbuat dari kayu dengan garis tengah sekitar 15 cm dan tebal 10 cm. Di bagian tengah dipasang gagang.   Namun sekeras apa pun pukulannya, ternyata tidak membuat ujung besi almadad menembus perut pemain tersebut, walaupun gada dihantamkan beberapa kali. Bahkan kulit perut di mana ujung almadad ditempelkan, tidak sedikit pun meninggalkan luka. Padahal dalam keadaan normal, besi almadad yang menyerupai jarum besar itu bisa dengan mudah menembus perut sampai belakang tubuh seseorang.
***  IDRIS mengakui, dalam debus, penonton bukan hanya disuguhi perpaduan antara seni dan keterampilan, dalam hal ini keterampilan seni bela diri. Tetapi debus yang berasal dari kata “dzikir, bathin dan salawat” itu merupakan seni yang erat kaitannya dengan pengolahan batin dan keislaman. Seni debus mengandung unsur-unsur dakwah sebagaimana awal kesenian tersebut didirikan pada masa Sultan Maulanan Hasanudin dan Sultan Banten berikutnya.Pada masa itu, menurut Idris, seni debus dimainkan oleh dua pemain secara bergantian. Sementara pemain lainnya duduk sambil membaca salawatan dan dzikiran seraya diiringi musik terbang besar dan kendang.
Banten adalah kesultanan yang tak gampang tunduk pada kompeni. Berbagai perlawanan yang dipimpin Sultan Banten terhadap penjajah telah mengakibatkan penindasan Belanda yang tak habis-habisnya terhadap rakyat Banten. Setelah masa Kesultanan Sultan Agung Tirtayasa berakhir, Belanda menguasai Banten. Selain memberlakukan kerja paksa dan menaikkan pajak-pajak, Belanda melarang pertunjukan seni debus. Setelah lebih daripada satu abad terpendam, salah satu alat seni debus yang disebut almadad akhirnya ditemukan Moch Idris ketika bertugas piket di rumah kediaman Residen Banten yang terletak di Banten Lama pada tahun 1949. Ketika itu tidak seorang pun tahu akan nama dan kegunaan barang tersebut.       Menurut Idris, seni debus barulah dikembangkan setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1949. Setelah tahun 1950-an ia mulai melatih calon pemain.  “Anggotanya terus bertambah, sampai 20 orang,” katanya.   Tahun 1957, untuk pertama kalinya ia tampil di Lapang Tegallega, Bandung. ***  LAHIR di Desa Tinggar, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Jawa Barat pada tahun 1907, ayah sembilan anak dan kakek lebih dari 43 cucu itu kini tinggal di Desa Tegalsari, Kecamatan Walantaka. Masa mudanya dihabiskan bersama para pejuang lainnya yang tergabung dalam laskar rakyat untuk melawan Belanda. Bersama para pejuang lainnya ia tergabung dalam Sektor Lodaya.Tahun tanggal 12 Juli 1955, ia terpilih sebagai Kepala Desa Cigoong, Kecamatan Walantaka, di samping memimpin kesekian debus.”Kalau di desa saya jadi kepala desa, tetapi kalau sedang ngamen, saya jadi pemain,” ia mengenang masa mudanya sambil tertawa lebar.   Setelah 31 tahun mengabdi, Idris kemudian mengundurkan diri.”Saya harus memberi kesempatan kepada generasi muda,” katanya.   Satu-satunya kegiatannya kini mendidik dan membina generasi muda untuk mencintai dan menjaga kelestarian seni debus sebagai warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai luhur. Sebagai kesenian rakyat, seni debus bisa ditampilkan di sembarang tempat dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Bisa di panggung atau di halaman terbuka, atau bahkan di hotel mewah sekalipun.   Alat utama kesenian ini selain terdiri dari almadad dan gada, dilengkapi dengan beberapa waditra (instrumen) pengiring, seperti terbang besar, kecrek yang terbuat dari lempengan logam, dua buah gendang, dan saron.   Para pemain debus bukan sembarang orang. Idris menyebut syarat utama harus beragama Islam dan menjalani puasa selama 40 hari. “Tidur tidak boleh terlentang karena khawatir menelan ludah dan membatalkan puasa,” ujarnya.Selama menjalankan puasa, ia harus membaca amalan yang diambil dari ayat Al Quran. Menurut dia, debus juga merupakan tarekat Qadariyah.   Untuk tidak membosankan penonton, Idris kemudian menambah beberapa atraksi lainnya. Misalnya silat debus, main golok, makan beling (pecahan kaca), nersisir dengan api, menggoreng di atas kepala, memotong tangan dan lidah sampai berdarah, berguling di atas kawat berduri. Atraksi lain adalah mengupas kelapa dengan cara digigit, makan bara api, dan tusuk jarum. ( Penulis : Her Suganda).
kejarannya hidup

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda